Pantun merupakan karya sastra lama Indonesia bentuk puisi.Pantun karya puisi lama mempunyai ketentuan khusus yaitu rumus sajaknya a-b-a-b, karena tiap baitnya terdiri dari empat baris.Pada baris 1 dan 2 merupakan baris yang berupa gambaran sedangkan baris 3 dan 4 merupakan baris yang berisikan maksud dari pantun tersebut.Sebuah pandangan khusus kalau baris 1 dan 2 disebut sampiran dan baris 3 dan 4 disebut isi.Karya pantun pada sastra lama disusun dengan berbagai tujuan.Karena itu sesuai dengan isinya,karya pantun dibedakan menjadi tiga,yaitu (1) pantun anak-anak (2) pantun muda (3) pantun tua.Pantun anak dapat juga disebut pantun bersuka cita,pantun muda disebut pantun percintaan dan pantun tua disebut pantun nasihat.
Perjalanan pertumbuhan pantun tidak sepesat karya sastra lainnya,hal ini dimungkinkan karena pertumbuhan tersebut terhambat oleh banyak hal,misalnya (a) ketentuan penulisan (b) ketentuan isi (c) ketentuan isi dan beberapa hal yang secara filosofis menjadikan pantun kurang digemari warga masyarakt baru bahkan moderen.
Memahami pantun tidak dapat dilepaskan pembahasannya dengan karya puisi, karena pantun merupakan bagian dari karya tersebut.Karena pantun merupaka satu diantara karya puisi maka sebagaimana disampaikan dalam sebuah teori bahwa puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu memuaskan. Karena itu perlu melakukan sebuah analisis dalam memahaminya sehingga dapat diketahui bagian-bagiannya secara jalinan nyata.Analisis secara dikotomis yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberikan gambaran yang nyata dan tidak memuaskan.
Untuk menganalisis pantun sebagai bagian dari karya piuisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya (wujud ) puisi itu.Dikatakan oleh Wellek (1968 : 150 ) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman indivudu itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi ( pantun ) tersebut. Karena itu puisi ( pantun ) itu harus dimengerti sebagai stuktur norma-norma. Jangan dikacaukan dengan norma-norma kliasik, etika ataupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus di tarik secara bersama-sama dari setiap pengalaman individu karya sastra yang murni sebagai keseluruhan (Rachmat 2007 : 14 )
Karya pantun bukan hanya satu sistem norma tetapi terdiri dari beberapa strata ( lapis ) norma.Masing-masing norma terdiri dari beberapa lapis norma lainnya dibawahnya. (Wellek, 1968 : 151 ). Mengemukakan analisis dari Roman Ingarden ( seorang filosof dari Polandia ) dalam bukunya yang berjudul "Das Literarische Kunstwerk" ( 1931 ) analisis norma terbagi sebagai berikut : (1) Norma lapis bunyi ( sound stratrum ), (2) norma lapis arti ( units of meaning ), dan lapis yang (3) terbagi sebagai berikut (a) lapis dunia yaitu bagian yang dipandang dari titik tertentu yang perlu dinyatakan tetapi terkandung di dalamnya atau implied, (b) lapis metafisis yang bersifat sublim ( tragis,mengerikan,menakutkan atau bahkan suci ).
contoh :
Pantun 1 : Seorang garuda di pohon beringin,
Buah kemuning di dalam puan.
Sepucuk surat dilayangkan angin,
Putih kuning sambutlah tuan.
Pantun 2 : Kalau ke bukit sama mendaki
Kalau ke laut sama berenang
Kalau kita bersatu hati
Kerja yang berat menjadi senang
Di tinjau dari lapis suara ( sound stratrum ) maka pada pantun 1 berbeda dengan pantun 2.Pada pantun 1 terlihat sajak yang ada adalah a-a-a-a dan pada pantun kedua adalah a-b-a-b. Jadi dalam pemahaman pantun moderen yang dimaksud dengan lapis bunyi ( sound stratrum ) memiliki pemahaman makna tidak bergantung mutlak dari sisi persamaan bunyi sebagai penentu rumus sajak dalam pemahaman pantun sebagai karya puisi lama.Namun dapat dipahami bahwa lapis bunyi yang dimaksud adalah serasinya sebuah bunyi-bunyi yang digunakan dalam deretan baris pantun sebagai gambaran untuk menyatakan keindahan sebuah karya sastra bentuk puisi.Dalam hal ini lapis bunyi yang dimaksud adalah keserasian iramanya. Kenyataan ini tak dapat dilepaskan karena pantun merupakan karya puisi, sebagaimana disebutkan bahwa karya puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan, dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragamnya mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Mengingat hakikat sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) sebagaimana disebutkan oleh Teeuw. (Rachmat. 2007 : 3 )
Jika pemahaman pantun diarahkan pada lapis arti ( units of meaning ) maka pantun 1 dan pantun 2 memiliki arti yang berbeda.Perbedaan arti tersebut dapat dimungkinkan dari tujuan penyusunan pantun tersebut.Pada pantun 1 unsur nasihat yang ada lebi terasa pada nasihat yang berupa saran yaitu " kita diharapkan menerima sesuatu hal dengan apa bedanya " sedangkan pada pantun 2 berupa himbauan " melakukan pekerjaan apapun sebaiknya dilakukan dengan senang hati niscaya pekerjaan seberat apapun terasa ringan"
Berdasarkan analisis dari lapis ketiga yaitu lapis satuan arti maka unsur obyek-obyek akan dikemukakan dalam pantun.Unsur obyek yang melandasi pantun 1 terbukti menggunakan unsur obyek seperti : sarang garuda, pohon beringin, buah kemuning, puan, surat, angin, putih dan kuning. Sebagai pelaku pada pantun 1 yaitu "tuan". Sedangkan pada pantun 2obyek yang disebutkan antara lain : bukit, laut. Sedangkan bentuk rasa yang muncul yaitu kata kerja,antara lain : mendaki, berenang, bersatu hati dan senang. ( Rachmat. 2007 : 17-18 ). Pantun yang tergolong karya puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi sesuai dengan selera dan perubahan konsep estetikanya (Riffaterre, 1978: 1). Dengan demikian keberadaan pantun bait 1 sebagaimana dicontohkan di atas dapat dimaklumi, sedang pada contoh pantun 2 adalah kenyataan pantun yang ditulis sesuai dengan ketentuan penulisannya yang sudah ada.
Dengan demikian jika anda dihadapkan pada sebuah pertanyaan tentang pantun baik dari segi fisiknya (bentuk) maupun lapis-lapis bunyi yang digunakan, maka anda dengan mudah menjawabnya. Kalau pantun ditinjau dari segi bentuk tergolong karya puisi asli Indonesia yang terikat oleh lapis bunyi, lapis arti serta lapis bentuk.
Jika lapis bunyi pantun masih dijadikan bahan pertanyaan, maka anda dapat menyebutkan sebagai lapis bunyi yang dilandasi persamaan bunyi akhir atau sajaknya, maka pantun tetap terikat ketentuan lama (klasik) bersajak a-b-a-b, namun sesuai dengan konsep estetika dan evolusi selera yang dikemukakan oleh Riffaterren, perubahan lapis bunyi dapat terjadi. Perubahan tersebut mungkin dapat bergeser dari tata keindahan bunyi yang tersusun secara ekstrinsik (lahiriah) maupun perubahan dari sisi metafisisnya. Jika perubahan itu terjadi pada lapis bunyi berdasarkan konsep yang dimaksud, maka keberadaan contoh pantun 1 dapat diterima sebagai pembaruan pantun pada lapis bunyinya. Bentuk pantun pada contoh 1 di atas adalah modernisasi pantun seiring pertumbuhan zaman.
sip...
BalasHapus:)
thks buat infonya...
BalasHapus:)
Nama : Ayu Ryan Prameswari
BalasHapusKelas : XII IPA 3 / 08
Jawaban:
1)Fungsi dari biografi bagi para pembaca buku nonfiksi yaitu untuk menjelaskan/memapaparkan tentang data diri seorang tokoh (gambaran/uraian kehidupan dan latar belakang tokoh)supaya dapat menarik para pembaca untuk lebih mengenal sang tokoh.
2) Fungsi dari sinopsis bagi para pembaca buku nonfiksi yaitu untuk memberikan sedikit gambaran / ringkasan cerita supaya para pembaca menjadi tertarik terhadap cerita tersebut.
3)Fungsi dari kritik bagi para pembaca buku nonfiksi untuk memberikan tanggapan terhadap suatu cerita / tulisan.Baik itu tanggapan yang menyertakan kelebihan ataupun kekurangan. Namun dalam resensi, kritik hanya menyertakan kelebihannya saja agar para pembaca menjadi tertarik.
4)Fungsi dari saran bagi para pembaca buku nonfiksi adalah untuk pembenahan bila ada kesalahan pada buku tersebut seperti halnya yang sering terjadi kesalahan dalam penulisan, serta dengan saran / masukan bisa membuat kemajuan pada buku tersebut, baik dari segi intrinsik maupun ekstrinsik.