Powered By Blogger

Minggu, 29 Agustus 2010

KEKURANGAN HASIL ANALISIS TENTANG SUDUT PANDANG DAN PENOKOHAN PADA POSTING TGL.25 AGUSTUS 2010

Hasil analisis pekerjaan kalian siswa XII/P/3-4 Tentang Penokohan dan Sudut Pandang (point of view) buku novel, secara umum analisis kalian masih jauh dari harapan. Maksudnya, analisis anda pada kompetensi dasar penokohan dan sudut pandang pelaku (point of view)  buku novel kalian lakukan secara sangat sederhana. Seharusnya analisis itu sebelum kalian lakukan, anda memahami secara mendalam tentang teori pembelajaran di buku panduan (Bse.XII. 2009: 69-70) yang dikembangkan dengan pemahaman berdasarkan kajian sastra yang diterbitkan melalui blog ini pada tanggal 25 Agustus 2010 yang lalu.

Kenyataan hasil analisis kalian yang masuk paling awal tanggal 26 Agustus 2010, jam 1.28 (atas nama Ramdini Nur Azizahdan-XII/P.4/29) dan  yang paling akhir pada tanggal 29 Agustus 2010, jam 03.03 (atas nama Tyas Juwita Sari Djoyo/XII-P4/33) secara umum hasil analisis tersebut jauh dari kompetensi dasar yang diharapkan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh dua faktor yang paling menentukan, yaitu (1) anda tidak membaca secara mendalam tentang teori di buku panduan dan hasil pengembangan kompetensi yang diminta yaitu penokohan dan sudut pandang pelaku, (2) pekerjaan tersebut kalian lakukan tanpa membaca petunjuk mengerjakan yang lebih dahulu harus kalian pahami.

Tidak diingkari dalam analisis tersebut ada beberapa pelaku analisis yang mengerjakan dengan lebih dari satu posting analisisnya, di sini membawa hasil analisis yang berbeda dengan mereka yang melakukan analisis sekali saja. Bagi beberapa pelaku analisis yang melakukan kajian ulang atau reanalisasi penokohan dan sudut pandang pelaku (point of view) buku novel, memberikan hasil beda. Pelaku yang mengadakan reanalisasi membuahkan hasil yang lebih memuaskan daripada mereka yang hanya sekali melakuakan analisasi penokohan dan sudut pandang pelaku buku novel.

Harapan saya dengan komentar ini kalian dapat mengoreksi diri atas hasil pekerjaan anda yang sudah anda lakukan dan kalian postingkan mulai tanggal yang ditetapkan ( 26 Agustus 2010, jam 07.30 hingga batas akhir yang ditentukan ( 29 Agustus 2010, jam 18.00), serta membaca komentar pekerjaan melalui blog ini jika menginginkan pekerjaan analisis itu membawa hasil yang memuaskan. Melalui komentar ini pula saya beritahukan anda saya berikan kesempatan  tambahan untuk reanalisasi pekerjaan analisis kalian tentang penokohan dan sudut pandang pelaku (point of view) buku novel mulai tanggal 30 Agustus 2010 mulai jam 09.30 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2010, jam 18.00). Semoga kesempatan baik ini anda gunakan sebaik-baiknya.  SELAMAT MENGERJAKAN REANALISIS PENOKOHAN DAN SUDUT PANDANG PELAKU (POIN OF VIEW) BUKU NOVEL (IWAN, S.)

Rabu, 25 Agustus 2010

PENOKOHAN & SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)

     Dalam pemebalajar ini ( Standar Kompetensi 5B.Kelas XII yaitu  tentang penjelasan Unsur Intrinsik Novel) Kompetensi Dasar yang ingin dicapai yakni dapat menjelaskan unsur intrinsik novel. Setelah anda membaca novel, maka anda harus dapat menjelaskan hal-hal yang termasuk dalam bagian dari unsur intrinsiknya. Sebagaimana yang disebut dalam Bse. XII, 2009: 60-70, unsur yang dimaksud adalah; (a) tema (b) latar atau setting (c) alur atau plot (d) penokohan dan (e) sudut pandang atau point of view. Dalam Bse. tersebut secara garis besar dijelaskan unsur-unsur seperti tema, latar cerita atau setting, alur, penokohan dan sudut pandang pelaku sebuah novel.
     Dalam pembahasan ini secara khusus akan dibahas secara mendalam tantang penokohan dan sudut pandang (point of view) sebuah novel. Pembahasan secara khusus dan mendalam pada kompetensi dasar penokohan dan sudut panadang (pelaku) bukan berarti mengecilkan unsur intrinsik novel lainnya (tema, latar atau setting, alur), namun semata-mata untuk memusatkan pembahasan secara khusus dan mendalam, sedang unsur intrinsik novel yang lain akan dibahas secara mendalam pada kompetensi dasar yang lain.
       Penokohan dan Sudut Pandang (point of view) di Bse.XII, 2009: 69. dijelaskan bahwa penokohan atau perwatakan merupakan unsur yang tersurat dalam sebuah cerita. Yang dimaksud dengan penokohan adalah pelukisan mengenai pelaku cerita dalam novel baik mengenai keadaan lahir maupun keadaan batik pelaku cerita tersebut. Maka untuk memahami watak pelaku cerita itu dapat diperhatiakan hal-hal penting seperti (a) apakah yang dilakukan oleh pelaku cerita, (b) apa yang dikatakan pelaku cerita dalam jalan ceritanya, (c) bagaimana sikap pelaku dalam menghadapi peroalan yang ada dan (d) bagaimana penilaian pelaku cerita yang lain terhadap dirinya. Sedang yang pentinmg didalami pada sudut pandang pelaku (point of view) adalah sebuah cara bercerita sorang pengarang novel  yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara alain; (a) sudut pandang orang pertama, (b) sudut pandang orang ketiga, (c) sudut pandang pengarang sebagai pencerita atau obyective point of view, (d) sudut pandang serba tahu atau omniscient point of view, dan (e) amanat. Kedua unsur intrinsik novel yang disebut di atas terkait antara satu dengan yang kedua (penokohan dan sudut pandang pelaku), karena itu pembahasannya secara bersamaan akan dibahas dalam kompetensi dasar ini.
         Novel merupakan satu bagian dari cerita fiksi, karena itu relevansi tokoh-tokohnya sering memberikan reaksi emotif tertentu, seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, antipati atau berbagai reaksi efektif lainnya. Pembaca (novel) tidak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpatik dan empati. Segala yang dirasa atau dialami oleh tokoh, yang menyenangkan atau sebaliknya, solah-olah dirasakan oleh pembaca. Bahkan banyak tokoh yang menjadi pujaan pembaca, masyarakat. Kehadiran tokoh tersebut seolah hadir dalam dunia nyata. Pembaca akan merasa akrap dengan tokoh tersebut, atau bahkan menjadi bagian dalam hidupnya, walaupun secara fisik tidak akan pernah dapat menginderakannya *).
__________
        *) Contoh adanya tokoh cerita yang begitu digandrungi masyarakat adalah tokoh Sherlock Holmes, seorang detektif    ciptaan Artur Conan Doyle (seorang pengarang Inggris). Tokoh Holmes seolah-olah hidup di tengah masyarakat secara sungguh-sungguh dan berada di sekitar pembaca. Ketika tokoh Holmes dimatikan, maka masyarakat (pembaca) merasa protes agar tokoh tersebut dihidupkan kembali. Maka Doyle sang pengarang terpaksa menghidupkan kembali dengan menguraikan ceritanya kembali bahwa Holmes yang jatuh ke jurang itu ternyata tersangkut pohon. 
               Tokoh seperti Holmes banyak ditemukan dalam cerita yang berkembang di negeri ini, misalnya tentang tokoh Brama dan Mantili dalam sandiwara radio "Saur Sepuh" karya Niki Kosasih, tokoh Agung Sedayu dan Kyai Gringsing (murid dan guru) dalam Api di Bukit Menoreh dalam cerber karya Sh. Mintardja dan masih banyak lagi tokoh-tokoh cerita yang memasyarakat di negeri ini.

Tokoh-tokoh seperti disebut dalam contoh di atas apakah relevan ?
        Ada beberapa abentuk relevansi seorang tokoh cerita. Seorang tokoh cerita ciptaan pengarang itu jika disukai banyak orang dalam kehidupan nyata, hingga dipuja-puja dan digandrungi berartyi berarti sebagai tokoh fiksi yang mempunyai relevansi (Kenny, 1966: 27). Relevansi tokoh yang dihubung-hubungkan dengan kehidupan sehari-hari  atau lifelikeness , merupakan kenyataan yang tak dapat diingkari, maka tidak salah jika relevansi tokoh tersebut memang diakui keberadaanya. Karena pembaca atau masyarakat sering berharap keberadaan tokoh cerita benar-benar ada dalam kehidupan nyata, walaupun penokohan tersebut hasil imaji seorang pengarang, sampai-sampai pembaca lupa jika fungsi tokoh sebagai elemen fiksi di mana pengarang mempunyai kebebasan dalam mencipta tokoh yang bagaimanapun, dengan merasa terikat oleh relevansi tokoh kehidupan diri pengarang atau tokoh yang ada di tengah masyarakat secara nyata. 
        Jika dengan kriteria tokoh yang digambarkan seperti kehidupan nyata ataupun dengan pengalaman kehidupan kita dianggap sebagai bentuk relevansi, lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh yang aneh? Tokoh-tokoh yang memiliki tampilan yang "nyleneh", misalnya dalam penokohan "orang tua" dalam Stasiun, tokoh "Aku" dalam Telegram, tokoh "Hamlet, Don Quixotes, dan Faust" dalam sastra Barat? Apakah mereka dianggap relevan, karena keberadaannya sungguh sulit ditemukan dalam kehidupan nyata. Mengingat dalam kehidupan nyata tidak banyak, atau bahkan sedikit kemungkinannya ada orang seperti mereka, namun hal yang sedikit itu bukan berarti tidak ada, walau hanya kecil kemungkinannya. Bahkan sebenarnya mungkin ada sisi-sisi tertentu dari kehidupan tokoh-tokoh aneh tersebut yang juga terdapat dalam diri kitawalau mungkin kita sendiri tidak menyadarinya. Jika kita merasakan keadaan itu dalam pengalaman diri kita, hal itu berarti ada rtelevansi pada tokoh tersebut. Hal inilah yang merupakan bentuk relevansi yang kedua (Kenny, 1966: 27). Akhirnya relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai unsur cerita secara keseluruhan. Karena itu jika tokoh  memang berjalinan erat dengan unsur lain (sudut pandang pelaku atau point of view) dalam membentuk keartistikan cerita fiksi (novel) maka tokoh mempunyai bentuk relevansi dengan cerita secara keseluruhan. Dengan demikian penokohan dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan novel sebagai karya fiksi.  Dalam novel penokohan dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasar dari sudut mana penamaan itu dilakaukan. 
       Berdasarkan sudut pandang (point of view) dan tinjauan tokoh, maka tokoh dalam novel sebagai karya fiksi seorang tokoh dapat saja dikatagorikan kedalam beberapa jenis penamaan sekaligus. misalnya sebagai  tokoh utama protagonis ( tokoh utama yang bermuatan positrif), tokoh yang berkembang secara tipikal (Nurgiyantoro, 2007: 176).
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
        Sebuah novel sebagai bahan bacaan kita, maka kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang hadir dalam novel tersebut.  Namun berkaitan dengan keseluruhan ceritanya peran masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Dilihat dari segi peranan  atau tingkat kepentingannya tokoh dalam sebuah cerita novel ada tokoh yang dirasa penting dan kurang penting. Tokoh yang dipentingkan maka tampilannya sangat mendominasi cerita, dan sebaliknya tokoh yang dirasa kurang penting tampilan dalam cerita dimunculkan hanya sesekali saja ataubahkan satu-dua kali dimunculkan lalu dihilangkan. Tokoh yang dipentingkan dalam segi tokoh disebut tokoh utama, yaitu tokoh yang menjadi sentral cerita ( cemtral character, main character), sedang tokoh yang jarang dimunculkan atau sesekali saja kemunculannya disebut tokoh tambahan atau pembantu ( paripheral character).
       Tokoh utama yang kemunculannya mendominasi cerita dimunculkan hampir setiap kejadian, bahkan pada novel tertentu misalnya dalam novel  Pada Sebuah Kapal (NH. Dini) tokoh Aku (Sri) pada bagian I, sedang pada bagian II tokoh Aku (Michel) . Pada novel Burung-burung Manyar, yang terdiri dari lima bab itu (bab 4, 9, 11, 13 dan bab 14) dari 22 bab yang ditampilkan  tokoh "Teto" (Sayuti, 1988: 32) muncul secara terus menerus. Namun dari kelima abab tersebut bab dua di antaranya (bab 4 dan 13) erat berkaiatan dengan tokoh Teto dalam keeratan pembicaraan tokoh tersebut. Sedang tiga abab lainnya (9, 11, dan 13) dapat dikaitkan dengan tokoh Teto walau secara tidak langsung, dalam hubungan sebab-akibat.
       Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentuikan perkembanagan alur cerita (plot)  secara keseluruhan. Tokoh utama selalu hadir dalam setiap kejadian sebagai pelaku  dengan pemegang kendali terjadinya konflik-konflik yang dibangun.

b. Tokoh Protagonis dan Antagonis
     Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan,dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel,pembaca sering mengidentifikasikan diri tokoh (-tokoh) tertentu,memberikan simpati dan empati,melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis ( Altenbernd & Lewis,1996: 59 ).
      Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi--yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero--tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis,1996: 59). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita,harapan-harapan kita sebagai pembaca. Maka, kita sering mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita,permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahaan kita, demikian pula halnya dengan menyikapinya.Pendek kata, segala apa yang dirasa,dipiki dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita.Identifikasi diri terhadap tokoh yang demikian merupakan empati yang diberikan oleh pembaca. Demikianlah  pembaca, kita, akan  memberikan  empati kepada tokoh Sri dan Michel dalam Pada Sebuah Kapal, Elisa pada Keberangkatan, atau Fuyuko pada Gairah untuk Hidup dan untuk Mati  (Nurgiyantoro, 2007: 178-9). Berdasarkan penilaian atau pandangan pendapat pembaca maka semata-mata tokoh protagonis dan antagonis selalu dipertemukan dalam cerita (novel) sebagai bagian dari intrinsik novel.

c.Tokoh Sedernaha dan Tokoh Bulat
       Berdasarkanm perwatakannya, tokoh cerita (novel) dapat dibedakan antara tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat ( complex atau round character). Pembedaan tersebut berasal dari Foster dalam bukunya yang berjudul Aspects of the Novel, yang terbit pertama kali tahun 1927. Pembedaan tokoh sederhana dan tokoh kompleks tersebut ( Foster, 1970: 75) yang akhirnya sangat populer. Setiap pembicaraan tokoh dalam novel penggolongan atau penyebutan tokoh tersebut selalu dipisahkan antara dua penggolong itu. 
        Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi (satu sifat atau satu watak) saja.  Sebagai seorang tokoh tidak diungkapkan berbagai kemungkinan dari sisi kehidupannya.  Ia tidak memiliki sifat dan tiongkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sehingga sifat kehidupannya bersifat datar atau monoton, maksudnya hanya mencerminkan satu sifat tertentu saja ( baik saja atau buruk saja).  Watau yang tetap itulah merupoakan gambaran pasti dan tidak berubah-ubah dan terus menerus. Misalnya. "Ia seorang yang miskin, tetapi jujur", " Ia seorang yang kaya, tetapi kikir", atau Ia seorang senantiasa pasrah pada nasib".
       Tokoh sederhana dapat melakukan berbagai tindakan, namun segala macam tindakan itu jika berubah maka akan kembali pada sifat asalnya, atau sebuah tindakan akan dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki di awalnya. Karena itu tokoh sederhana ini mudah dikenali dan dihafal oleh pembaca, karena itu sifat tokoh sederhana yang stereotip (Kenny, 1966: 28).
       Unsur kestereotipan yang sering dijumpai dalam karya fiksi (novel), misalnya dalam buku "Siti Nurbaya" tokoh Samsul Bahri, Datuk Maringgih, tokoh Hanafi dan Corrie dalam buku "Salah Asuhan", dan juga tokoh Tuti, Maria dan Yusuf dalam buku "Layar Terkembang".  Keberadaak tokoh tersebut cukup mudah dimengerti pembaca dalam berbagai aspek kehidupannya, hal tersebut karena cukup banyak diceritakan sehingga pembaca tidak cukup banyak kesempatan untuk mengembangkan sesuai dengan sisi kehidupan yang sesungguhnya.
       Sementara Tokoh Kompleks atau tokoh Bulat, adalah tokoh yang memiliki berbagai karakter dan diungkapkan sangat berbeda dengan tokoh sederhana. Tokoh ini diungkapkan dengan berbagai kemungkinan kehidupannya, misalnya sisi kepribadian di samping sisi sosial lainnya yang sangat komplek dialami secara utuh dimana seorang tokoh adalah manusia ayang hidup di tengah masyarakat secara majemuk dalam segala hal. Karena itu perwatyakannya pun terlalu sulit dideskripsikan  secara tepat. Didandingkan denganm tokoh sederhana maka tokoh kompleks atau tokoh bulat ini merupakan gambaran manusia secara sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia sering juga memberikan kejutan (Abrams, 1981: 20-21).
           Tokoh komples ini untuk pembaca cukup sulit memahaminya, karena terasa kurang familiar yang ditampilkan adalah tokoh yang kurang akrap dana kurang dikenal sebelumnya. Tingkah laku tokoh misalnya, selalu muncul tak terduga dan memberikan efek kejutan pada pembaca. Karena itu untuk memahaminya harus benar-benar mengingat tampilan cerita sebelumnya agar dapat menemukan perubahan sifat atau tindakan yang berdampak pada kejutan yang dapat ditemukan dalam ajalan ceritanya. Hal tersebut umum terjadi dalam kehidupan nyata, selama tokoh cerita haruslah dapat dipertanggungjawabkan dari segi plausibilitas cerita sebab cerita novel yang tergolong karya fiksi ini memang mengandung alur ceriota (plot). Misalnya dalam novel Burung-burung Manyar karya YB. Mangunwidjaja di mana tokoh Teto yang mengalami perubahan sikap dari sikap sebelumnya, yaitu sikap cinta terhadap sikap orang Indonesia, berubah menjadi sikap memusuhi dan kemudian berubah lagi menjadi sikap mencintai  dan bahkan mau membela kepentingannya dengan penuh tanggung jawab (Nurgiyantoro, 2007: 184).
       Perbedaan antara tokoh sederhana denganm tokoh kompleks atau tokoh bulat tersebut hanya gamabaran secara teoritis, namun secara kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat kehidupan manusia sebagai tokoh sosial kehidupan. Artinya tokoh sederhana bukan sebagai lawan atau kebalikan dari tokoh kompleks. Perbedaan antara sederhana dengan kompleks itu hanya penggradasian, berdasarkan kompleksitas watak yang dimiliki p[ara tokoh novel sangat kompleks. Jadi ia lebih merupakan deskripsi tingkat intensitas kekompleksan perwatakan tokoh itu. Misalnya tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, merupakan tokoh sederhana ? Jika disejajarkan dengan tokoh Samsul Bahri dalam roman Siti Nurbaya, maka tokoh Hanafi jauh lebih kompleks dalam menghadapi permasalahannya, dengan tingkat perkembangan kejiwaan yang tidak terlalu sederhana. Namun tampaknya tokoh Hanafi  masih tergolong sederhana jika dibandingkan dengan tokoh Tono (Sukartono) dalam Belenggu karya Arminj Pane.
       Menampilkan tokoh kompleks atau tokoh bulat sebagai tokoh utama  memerlukan kecakapan yang lebih dibandingkan dengan menampilkan tokoh sederhana sebagai tokoh  utama. Karena tampilan tokoh sederhana sebagai tokoh utama cukup mengulang pola perwatakan tertentu saja, sehingga tidak menuntut daya kreativitas yang tinggi. Untuk tampilan tokoh sederhana sebagai tokoh utama perlu dibedakan ke dalam tokoh sederhana stereotip sebagai pengganti imajinasi dan tokoh sederhana yang diindividukan (Kenny, 1966: 33). Karena hal utama pada umumnya tampilan tokoh sederhana stereotip tampilannya itu-itu saja yang menggambarkan kurangnya kreativitas   dan imaji pengarang. Tokoh yang demikian jika diangkat dalam cerita novel (fiksi) akan menghasilkan cerita yang rendah, namun juga belum tentu jika ditampilkan dalam tampilan tyokoh tambahan.
       Sebaliknya tampilan tokoh yang kedua menyaran pada penampilan pada tokoh yang merupakan hasil kreativitas pengarang melalui imajinya yang murni. Tokoh yang dimaksud merupakan tokoh asli ciptaan pengarang hasil dari imajinya, misalnya tokoh Sri dalam Sri Sumarah dan Pariyem dalam Pengakuan Pariyem. Kedua tokoh tersebut memiliki sikap pasrah, sumarah, menerima nasib secara apa adanya, tak pernah berkonflik dalam jiwanya, dapat digolongkan dalam tokoh sederhana, walau tidak selalu tampil sederhana. Karena keduanya kurang mencerminkan realitaskehidupan manusia Jawa dewasa ini.
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
       Berdasarkan tingkat berkembang atau tidaknya tokoh novel sebagai karya fiksi, maka keberadaan tokoh dibedakan menjadi dua keadaan, yaitu tokoh tak berkembang atau tokoh statis (static charakter) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan baik perwatakan maupun akibat adanaya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd & Lewis, 1966: 58).  Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat perubahan lingkungan, dengan demikian dapat disimpulakan bahwa tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sikap dan watak relaltif tetap, tidak berkembang sejak awal hingga akhir cerita.
      Dalam  tokoh  statis  dikenal  adanya  tokoh  hitam ( dikonotasikan  sebagai  tokoh jahat) dan tokoh putih
(dikonotasikan sebagai tokoh baik), artinya tokoh-tokoh tersebut dari awal kemunculannya selaltu tetap dan tidak mengalami perubahan watak tokohnya.Misalnya gambaran  tindakan yang ditampilkan Siti Nurbaya dalam buku karya Marah Rusli itu menggambarkan gadis penurut (adat) dari awal tampilan hingga akhir atau gamabaran tokoh Datuk Maringgih yang terkesan jahat dalam segala hal (perbuatan dan tindakannya).
     Sementara yang dimaksud dengan tokoh berkembang adalah kebalikan adari tokoh statis, maksudnya selalu mengalami perubahan baik dalam gambaran watak maupun tindakan yang membangun konfliks, misalnya perubahan yang dilakukan Tono terhadap Tini yang bermula ramah dan baik berbalik menjadi tak saling menyapa dan akhirnya berpisah dalam buku Belenggu karya Arminj Pane itu.
                  (Pengembangan Pembahasan dilanjutkan pada KBM berikutnya dalam SK. dan KD. yang sama)

Penugasan Untuk Kelas XII.
1.  Bagaimanakah simpulan anda tentang penokohan dan sudut pandang pelaku yang diperbuat para penga
     rang dalam  karya  novelnya, setelah  anda  membaca  teori  tentang  pengkajian  Penokohan dan Sudut 
     Pandang (point of view) itu ? 

2. Bacalah  sebuah novel Indonesia dan bagaimanakah menurutmu tentang;

    a. Penokohannya ? ( Uraiakan sesuai teori yang disampaikan)

    b. Sudut Pandang ( point of view) yang digunakan pengarang terhadap novel anda tersebut ?

    c. Menurut anda tokoh Tuyet dalam buku novel karya Taufik Ismail tersebut tergolong tokoh 
       statis ( statis character) atau tokoh berkembang ( developing character )? Berikanlah alasannya !

 
 

Senin, 09 Agustus 2010

TUGAS SISWA

*  Apakah fungsi dari :
  1. biografi
  2. sinopsis
  3. kritik
  4. saran
    bagi para pembaca buku nonfiksi? serta jelaskan apa yang dimaksud dari fungsi-fungsi di atas!!!



Format Tugas :
  • Penulisan secara manual
  • Sertakan nama serta no absensi
  • Jawaban diharapkan sejelas-jelasnya
  • Pengumpulan tugas pada minggu ke 3 bulan Agustus
Mengetahui : iwan setyawan,art

Minggu, 08 Agustus 2010

MENULIS RESENSI BUKU NONFIKSI

        Resensi buku nonfiksi adalah sebuah karya tulis yang bertujuan untuk mengulas sebuah buku novel dengan tujuan untuk memberikan gambaran kepada orang lain tentang keberadaan buku novel tersebut secara lengkap, baik unsur luar ( ekstrinsik ) buku nonfiksi maupun unsur dalam ( intrinsik )buku nonfiksi.
           Sebagaimana dijelaskan dalam dasar materi bahwa resensi berasal dari bahasa latin yaitu revidere atau recensere ( kata kerja ) yang mempunyai arti melihat kembali atau menilai.Dalam bahasa belanda disebut juga resencie dan dalam bahasa inggris disebut review. Dari ketiga bahasa tersebut kata resensi mengacu pada sebuah arti kata " mengulas sebuah buku ".

Berikut adalah sebuah contoh bagaimana cara menulis sebuah resensi buku nonfiksi.

  • Judul Buku           : Membuat Bio Gas 
                                 Pengganti Bahan Minyak & Gas dari Kotoran Ternak
    • Pengarang            : Suhut Simamora , Salundik , Sri Wahyu , Sarajudin
      • Penerbit               : PT. Agromedia Pustaka
        • Cetakan               : IV
        • Tahun Terbit         : 2008
        • Jumlah Halaman   : iv + 52 halaman ; berukuran 15 x 23 cm
        • Harga                  : Rp. 18.000,00
        • Sinopsis               :
               Seiring dengan semakin mahal dan langkahnya minyak dan gas, menuntut manusia di zaman ini untuk berpikir lebih kreatif dalam memenuhi dua kebutuhan tersebut. Buku ini memberikan solusi atas permasalahan di atas yaitu dengan penggunaan energi alternatif sebagai pengganti minyak dan gas. Bermacam-macam pengetahuan tentang energi alternatif diuraikan dalam buku ini , diantaranya (1) manusia dan kebutuhan alternatif , (2) limbah ternak sebagai bahan baku biogas. Biogas merupakan contoh energi alternatif yang dibahas dalam buku ini.Penulis juga memberikan informasi tentang gas-gas yang terkadung dalam kotoran ternak yang dapat diolah menjadi biogas. Selain itu, buku yang berjudul " Membuat Biogas Pengganti Bahan Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak " juga menyertakan cara-cara pembuatan instalasi biogas serta syarat , teknik dan nilai ekonomis pembuatan dan penggunaan biogas. Bukan hanya itu saja,Penulis juga memaparkan potensi biogas bagi kehidupan masyarakat sehingga dapat menarik pembaca untuk lebih mengenal apa itu biogas. Dalam buku ini juga dijelaskan cara membuat pupuk organik dari sisa pembuatan biogas. Suhut Simamora, Salundik, Sri Wahyu dan Sarajudin dalam menyajikan uraiannya sangat memantulkan daya tarik tersendiri. Bahasa ilmiah yang lugas dan mudah dipahami membuat uraian isi buku mengajak pembacanya untuk bereksperimen dalam mengembangkan kemampuannya sesuai tujuan pengembangan makna biogas sebagai bahan pengganti minyak dan gas. ( Media Indonesia, No.XXIII.Peb'08 )

                Contoh sebuah resensi di atas pernah muncul disebuah media cetak pada tahun 2007 pada bulan oktober hingga bulan pebruari 2008.

                    Ulasan yang ada dalam resensi sebuah buku berkisar pada prinsip-prinsip ulasan buku, yaitu (1) unsur luar buku dan (2) unsur dalam buku. Unsur luar bukuyang disebut juga ekstrinsik karya meliputi (a) judul buku, (b) nama pengarang, (c) nama penerbit, (d) kota terbit, (e) tahun terbit, (f) ketebalan buku,  dan (g) ukuran gambar.
                   Sedangkan unsur dalam buku disebut juga intrinsik karya meliputi (a) isi cerita, (b) amanat cerita, (c) alur atau plot, dan (d) kebahasaan. ( Suyatmi , 2005 : 67 )

        Prinsip dasar penulisan resensi buku nonfiksi yakni bertujuan untuk
        1. memberikan informasi atau pemahaman tentang sebuah buku nonfiksi (baru) kepada khalayak ramai secara komprehensif tentang apa yang tampak dan terungkap dalam buku tersebut.
        2. mengajak pembaca untuk memikirkan dan merenungkan isi dalam sebuah buku nonfiksi
        3. Memberikan pertimbangan kepada pembaca apakah nonfiksi itu layak dibaca atau tidak
        4. Menjawab pertanyaan yang muncul jika seseorang bertanya tentang nonfiksi yang baru dijumpai dala hal, siapa pengarang nonfiksi, mengapa dan bagaimana liku-liku pengarang menulis buku nonfiksi tersebut, apa yang dapat ditemukan dalam buku nonfiksi tersebut, bagaimana hubungan buku nonfiksi tersebut dengan buku yang sejenis dan bagaimana hubungan dengan buku yang sejenis dengan karya pengarang yang sama maupun dengan buku lain dan karya pengarang yang lain pula.??
        Untuk kalangan tertentu resensi buku nonfiksi bertujuan sebagai berikut :
        1.  Dengan membaca resensi buku nonfiksi akan mendapatkan bimbingan dalam memahami isi buku nonfiksi mulai dari penggunaan kebahasaan buku nonfiksi dan lain sebagainya.
        2. Dengan membaca resensi buku nonfiksi dapat memberikan gambaran tentang pengarang dan keberadaannya kepada kalangan masyarakat secara nyata.


        Demikian sedikit posting saya tentang "Menulis Resensi Buku Nonfiksi" semoga dapat menambah pengetahuan saudara-saudara sekalian...

        Sabtu, 07 Agustus 2010

        Mendalami Pembelajaran Pantun

        Pantun merupakan karya sastra lama Indonesia bentuk puisi.Pantun karya puisi lama mempunyai ketentuan khusus yaitu rumus sajaknya a-b-a-b, karena tiap baitnya terdiri dari empat baris.Pada baris 1 dan 2 merupakan baris yang berupa gambaran sedangkan baris 3 dan 4 merupakan baris yang berisikan maksud dari pantun tersebut.Sebuah pandangan khusus kalau baris 1 dan 2 disebut sampiran dan baris 3 dan 4 disebut isi.Karya pantun pada sastra lama disusun dengan berbagai tujuan.Karena itu sesuai dengan isinya,karya pantun dibedakan menjadi tiga,yaitu (1) pantun anak-anak (2) pantun muda (3) pantun tua.Pantun anak dapat juga disebut pantun bersuka cita,pantun muda disebut pantun percintaan dan pantun tua  disebut pantun nasihat.

        Perjalanan pertumbuhan pantun tidak sepesat karya sastra lainnya,hal ini dimungkinkan karena pertumbuhan tersebut terhambat oleh banyak hal,misalnya (a) ketentuan penulisan (b) ketentuan isi (c) ketentuan isi dan beberapa hal yang secara filosofis menjadikan pantun kurang digemari warga masyarakt baru bahkan moderen.

        Memahami pantun tidak dapat dilepaskan pembahasannya dengan karya puisi, karena pantun merupakan bagian dari karya tersebut.Karena pantun merupaka satu diantara karya puisi maka sebagaimana disampaikan dalam sebuah teori bahwa puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu memuaskan. Karena itu perlu melakukan sebuah analisis dalam memahaminya sehingga dapat diketahui bagian-bagiannya secara jalinan nyata.Analisis secara dikotomis yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberikan gambaran yang nyata dan tidak memuaskan.

        Untuk menganalisis pantun sebagai bagian dari karya piuisi setepat-tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya (wujud ) puisi itu.Dikatakan oleh Wellek (1968 : 150 ) bahwa puisi itu adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman indivudu itu sebenarnya hanya sebagian saja dapat melaksanakan puisi ( pantun ) tersebut. Karena itu puisi ( pantun ) itu harus dimengerti sebagai stuktur norma-norma. Jangan dikacaukan dengan norma-norma kliasik, etika ataupun politik. Norma itu harus dipahami sebagai norma implisit yang harus di tarik secara bersama-sama dari setiap pengalaman individu karya sastra yang murni sebagai keseluruhan (Rachmat 2007 : 14 )

        Karya pantun bukan hanya satu sistem norma tetapi terdiri dari beberapa strata ( lapis ) norma.Masing-masing norma terdiri dari beberapa lapis norma lainnya dibawahnya. (Wellek, 1968 : 151 ). Mengemukakan analisis dari  Roman Ingarden ( seorang filosof dari Polandia ) dalam bukunya yang berjudul "Das Literarische Kunstwerk"  ( 1931 ) analisis norma terbagi sebagai berikut : (1) Norma lapis bunyi ( sound stratrum ), (2) norma lapis arti ( units of meaning ), dan lapis yang (3) terbagi sebagai berikut (a) lapis dunia yaitu bagian yang dipandang dari titik tertentu yang perlu dinyatakan tetapi terkandung di dalamnya atau implied, (b) lapis metafisis yang bersifat sublim ( tragis,mengerikan,menakutkan atau bahkan suci ).

        contoh  :
        Pantun 1 :          Seorang garuda di pohon beringin,
                                  Buah kemuning di dalam puan.
                                  Sepucuk surat dilayangkan angin,
                                  Putih kuning sambutlah tuan.

        Pantun 2 :          Kalau ke bukit sama mendaki
                                  Kalau ke laut sama berenang
                                  Kalau kita bersatu hati
                                  Kerja yang berat menjadi senang

        Di tinjau dari lapis suara ( sound stratrum ) maka pada pantun 1 berbeda dengan pantun 2.Pada pantun 1 terlihat sajak yang ada adalah a-a-a-a dan pada pantun kedua adalah a-b-a-b. Jadi dalam pemahaman pantun moderen yang dimaksud dengan lapis bunyi ( sound stratrum ) memiliki pemahaman makna tidak bergantung mutlak dari sisi persamaan bunyi sebagai penentu rumus sajak dalam pemahaman pantun sebagai karya puisi lama.Namun dapat dipahami bahwa lapis bunyi yang dimaksud adalah serasinya sebuah bunyi-bunyi yang digunakan dalam deretan baris pantun sebagai gambaran untuk menyatakan keindahan sebuah karya sastra bentuk puisi.Dalam hal ini lapis bunyi yang dimaksud adalah keserasian iramanya. Kenyataan ini tak dapat dilepaskan karena pantun merupakan karya puisi, sebagaimana disebutkan bahwa karya puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan, dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragamnya mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Mengingat hakikat sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi) sebagaimana disebutkan oleh Teeuw. (Rachmat. 2007 : 3 )

        Jika pemahaman pantun diarahkan pada lapis arti ( units of meaning ) maka pantun 1 dan pantun 2 memiliki arti yang berbeda.Perbedaan arti tersebut dapat dimungkinkan dari tujuan penyusunan pantun tersebut.Pada pantun 1 unsur nasihat yang ada lebi terasa pada nasihat yang berupa saran yaitu " kita diharapkan menerima sesuatu hal dengan apa bedanya " sedangkan pada pantun 2 berupa himbauan " melakukan pekerjaan apapun sebaiknya dilakukan dengan senang hati niscaya pekerjaan seberat apapun terasa ringan"

        Berdasarkan analisis dari lapis ketiga yaitu lapis satuan arti maka unsur obyek-obyek akan dikemukakan dalam pantun.Unsur obyek yang melandasi pantun 1 terbukti menggunakan unsur obyek seperti : sarang garuda, pohon beringin, buah kemuning, puan, surat, angin, putih dan kuning. Sebagai pelaku pada pantun 1 yaitu "tuan". Sedangkan pada pantun 2obyek yang disebutkan antara lain : bukit, laut. Sedangkan bentuk rasa yang muncul yaitu kata kerja,antara lain : mendaki, berenang, bersatu hati dan senang.  ( Rachmat. 2007 : 17-18 ). Pantun yang tergolong karya puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi sesuai dengan selera dan perubahan konsep estetikanya (Riffaterre, 1978: 1). Dengan demikian keberadaan pantun bait 1 sebagaimana dicontohkan  di atas dapat dimaklumi, sedang pada contoh pantun 2 adalah kenyataan pantun yang ditulis sesuai dengan ketentuan penulisannya yang sudah ada.

        Dengan demikian jika anda dihadapkan pada sebuah pertanyaan tentang pantun baik dari segi fisiknya (bentuk) maupun lapis-lapis bunyi yang digunakan, maka anda dengan mudah menjawabnya. Kalau pantun ditinjau dari segi bentuk tergolong karya puisi asli Indonesia yang terikat oleh lapis bunyi, lapis  arti serta lapis bentuk. 

        Jika lapis bunyi pantun masih dijadikan bahan pertanyaan, maka anda dapat menyebutkan sebagai lapis bunyi yang dilandasi persamaan bunyi akhir atau sajaknya, maka pantun tetap terikat ketentuan lama (klasik) bersajak a-b-a-b, namun sesuai dengan konsep estetika dan evolusi selera yang dikemukakan oleh Riffaterren, perubahan lapis bunyi dapat terjadi. Perubahan tersebut mungkin dapat bergeser dari tata keindahan bunyi yang tersusun secara ekstrinsik (lahiriah) maupun perubahan dari sisi metafisisnya. Jika perubahan itu terjadi pada lapis bunyi berdasarkan konsep yang dimaksud, maka keberadaan contoh pantun 1 dapat diterima sebagai pembaruan pantun pada lapis bunyinya. Bentuk pantun pada contoh 1 di atas adalah modernisasi pantun seiring pertumbuhan zaman.