Dalam pemebalajar ini ( Standar Kompetensi 5B.Kelas XII yaitu tentang penjelasan Unsur Intrinsik Novel) Kompetensi Dasar yang ingin dicapai yakni dapat menjelaskan unsur intrinsik novel. Setelah anda membaca novel, maka anda harus dapat menjelaskan hal-hal yang termasuk dalam bagian dari unsur intrinsiknya. Sebagaimana yang disebut dalam Bse. XII, 2009: 60-70, unsur yang dimaksud adalah; (a) tema (b) latar atau setting (c) alur atau plot (d) penokohan dan (e) sudut pandang atau point of view. Dalam Bse. tersebut secara garis besar dijelaskan unsur-unsur seperti tema, latar cerita atau setting, alur, penokohan dan sudut pandang pelaku sebuah novel.
Dalam pembahasan ini secara khusus akan dibahas secara mendalam tantang penokohan dan sudut pandang (point of view) sebuah novel. Pembahasan secara khusus dan mendalam pada kompetensi dasar penokohan dan sudut panadang (pelaku) bukan berarti mengecilkan unsur intrinsik novel lainnya (tema, latar atau setting, alur), namun semata-mata untuk memusatkan pembahasan secara khusus dan mendalam, sedang unsur intrinsik novel yang lain akan dibahas secara mendalam pada kompetensi dasar yang lain.
Penokohan dan Sudut Pandang (point of view) di Bse.XII, 2009: 69. dijelaskan bahwa penokohan atau perwatakan merupakan unsur yang tersurat dalam sebuah cerita. Yang dimaksud dengan penokohan adalah pelukisan mengenai pelaku cerita dalam novel baik mengenai keadaan lahir maupun keadaan batik pelaku cerita tersebut. Maka untuk memahami watak pelaku cerita itu dapat diperhatiakan hal-hal penting seperti (a) apakah yang dilakukan oleh pelaku cerita, (b) apa yang dikatakan pelaku cerita dalam jalan ceritanya, (c) bagaimana sikap pelaku dalam menghadapi peroalan yang ada dan (d) bagaimana penilaian pelaku cerita yang lain terhadap dirinya. Sedang yang pentinmg didalami pada sudut pandang pelaku (point of view) adalah sebuah cara bercerita sorang pengarang novel yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara alain; (a) sudut pandang orang pertama, (b) sudut pandang orang ketiga, (c) sudut pandang pengarang sebagai pencerita atau obyective point of view, (d) sudut pandang serba tahu atau omniscient point of view, dan (e) amanat. Kedua unsur intrinsik novel yang disebut di atas terkait antara satu dengan yang kedua (penokohan dan sudut pandang pelaku), karena itu pembahasannya secara bersamaan akan dibahas dalam kompetensi dasar ini.
Novel merupakan satu bagian dari cerita fiksi, karena itu relevansi tokoh-tokohnya sering memberikan reaksi emotif tertentu, seperti merasa akrap, simpati, empati, benci, antipati atau berbagai reaksi efektif lainnya. Pembaca (novel) tidak jarang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang diberinya rasa simpatik dan empati. Segala yang dirasa atau dialami oleh tokoh, yang menyenangkan atau sebaliknya, solah-olah dirasakan oleh pembaca. Bahkan banyak tokoh yang menjadi pujaan pembaca, masyarakat. Kehadiran tokoh tersebut seolah hadir dalam dunia nyata. Pembaca akan merasa akrap dengan tokoh tersebut, atau bahkan menjadi bagian dalam hidupnya, walaupun secara fisik tidak akan pernah dapat menginderakannya *).
__________
*) Contoh adanya tokoh cerita yang begitu digandrungi masyarakat adalah tokoh Sherlock Holmes, seorang detektif ciptaan Artur Conan Doyle (seorang pengarang Inggris). Tokoh Holmes seolah-olah hidup di tengah masyarakat secara sungguh-sungguh dan berada di sekitar pembaca. Ketika tokoh Holmes dimatikan, maka masyarakat (pembaca) merasa protes agar tokoh tersebut dihidupkan kembali. Maka Doyle sang pengarang terpaksa menghidupkan kembali dengan menguraikan ceritanya kembali bahwa Holmes yang jatuh ke jurang itu ternyata tersangkut pohon.
Tokoh seperti Holmes banyak ditemukan dalam cerita yang berkembang di negeri ini, misalnya tentang tokoh Brama dan Mantili dalam sandiwara radio "Saur Sepuh" karya Niki Kosasih, tokoh Agung Sedayu dan Kyai Gringsing (murid dan guru) dalam Api di Bukit Menoreh dalam cerber karya Sh. Mintardja dan masih banyak lagi tokoh-tokoh cerita yang memasyarakat di negeri ini.
Tokoh-tokoh seperti disebut dalam contoh di atas apakah relevan ?
Ada beberapa abentuk relevansi seorang tokoh cerita. Seorang tokoh cerita ciptaan pengarang itu jika disukai banyak orang dalam kehidupan nyata, hingga dipuja-puja dan digandrungi berartyi berarti sebagai tokoh fiksi yang mempunyai relevansi (Kenny, 1966: 27). Relevansi tokoh yang dihubung-hubungkan dengan kehidupan sehari-hari atau lifelikeness , merupakan kenyataan yang tak dapat diingkari, maka tidak salah jika relevansi tokoh tersebut memang diakui keberadaanya. Karena pembaca atau masyarakat sering berharap keberadaan tokoh cerita benar-benar ada dalam kehidupan nyata, walaupun penokohan tersebut hasil imaji seorang pengarang, sampai-sampai pembaca lupa jika fungsi tokoh sebagai elemen fiksi di mana pengarang mempunyai kebebasan dalam mencipta tokoh yang bagaimanapun, dengan merasa terikat oleh relevansi tokoh kehidupan diri pengarang atau tokoh yang ada di tengah masyarakat secara nyata.
Jika dengan kriteria tokoh yang digambarkan seperti kehidupan nyata ataupun dengan pengalaman kehidupan kita dianggap sebagai bentuk relevansi, lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh yang aneh? Tokoh-tokoh yang memiliki tampilan yang "nyleneh", misalnya dalam penokohan "orang tua" dalam Stasiun, tokoh "Aku" dalam Telegram, tokoh "Hamlet, Don Quixotes, dan Faust" dalam sastra Barat? Apakah mereka dianggap relevan, karena keberadaannya sungguh sulit ditemukan dalam kehidupan nyata. Mengingat dalam kehidupan nyata tidak banyak, atau bahkan sedikit kemungkinannya ada orang seperti mereka, namun hal yang sedikit itu bukan berarti tidak ada, walau hanya kecil kemungkinannya. Bahkan sebenarnya mungkin ada sisi-sisi tertentu dari kehidupan tokoh-tokoh aneh tersebut yang juga terdapat dalam diri kitawalau mungkin kita sendiri tidak menyadarinya. Jika kita merasakan keadaan itu dalam pengalaman diri kita, hal itu berarti ada rtelevansi pada tokoh tersebut. Hal inilah yang merupakan bentuk relevansi yang kedua (Kenny, 1966: 27). Akhirnya relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai unsur cerita secara keseluruhan. Karena itu jika tokoh memang berjalinan erat dengan unsur lain (sudut pandang pelaku atau point of view) dalam membentuk keartistikan cerita fiksi (novel) maka tokoh mempunyai bentuk relevansi dengan cerita secara keseluruhan. Dengan demikian penokohan dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan novel sebagai karya fiksi. Dalam novel penokohan dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasar dari sudut mana penamaan itu dilakaukan.
Berdasarkan sudut pandang (point of view) dan tinjauan tokoh, maka tokoh dalam novel sebagai karya fiksi seorang tokoh dapat saja dikatagorikan kedalam beberapa jenis penamaan sekaligus. misalnya sebagai tokoh utama protagonis ( tokoh utama yang bermuatan positrif), tokoh yang berkembang secara tipikal (Nurgiyantoro, 2007: 176).
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Sebuah novel sebagai bahan bacaan kita, maka kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang hadir dalam novel tersebut. Namun berkaitan dengan keseluruhan ceritanya peran masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat kepentingannya tokoh dalam sebuah cerita novel ada tokoh yang dirasa penting dan kurang penting. Tokoh yang dipentingkan maka tampilannya sangat mendominasi cerita, dan sebaliknya tokoh yang dirasa kurang penting tampilan dalam cerita dimunculkan hanya sesekali saja ataubahkan satu-dua kali dimunculkan lalu dihilangkan. Tokoh yang dipentingkan dalam segi tokoh disebut tokoh utama, yaitu tokoh yang menjadi sentral cerita ( cemtral character, main character), sedang tokoh yang jarang dimunculkan atau sesekali saja kemunculannya disebut tokoh tambahan atau pembantu ( paripheral character).
Tokoh utama yang kemunculannya mendominasi cerita dimunculkan hampir setiap kejadian, bahkan pada novel tertentu misalnya dalam novel Pada Sebuah Kapal (NH. Dini) tokoh Aku (Sri) pada bagian I, sedang pada bagian II tokoh Aku (Michel) . Pada novel Burung-burung Manyar, yang terdiri dari lima bab itu (bab 4, 9, 11, 13 dan bab 14) dari 22 bab yang ditampilkan tokoh "Teto" (Sayuti, 1988: 32) muncul secara terus menerus. Namun dari kelima abab tersebut bab dua di antaranya (bab 4 dan 13) erat berkaiatan dengan tokoh Teto dalam keeratan pembicaraan tokoh tersebut. Sedang tiga abab lainnya (9, 11, dan 13) dapat dikaitkan dengan tokoh Teto walau secara tidak langsung, dalam hubungan sebab-akibat.
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentuikan perkembanagan alur cerita (plot) secara keseluruhan. Tokoh utama selalu hadir dalam setiap kejadian sebagai pelaku dengan pemegang kendali terjadinya konflik-konflik yang dibangun.
b. Tokoh Protagonis dan Antagonis
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan,dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah novel,pembaca sering mengidentifikasikan diri tokoh (-tokoh) tertentu,memberikan simpati dan empati,melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis ( Altenbernd & Lewis,1996: 59 ).
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi--yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero--tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis,1996: 59). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita,harapan-harapan kita sebagai pembaca. Maka, kita sering mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita,permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahaan kita, demikian pula halnya dengan menyikapinya.Pendek kata, segala apa yang dirasa,dipiki dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita.Identifikasi diri terhadap tokoh yang demikian merupakan empati yang diberikan oleh pembaca. Demikianlah pembaca, kita, akan memberikan empati kepada tokoh Sri dan Michel dalam Pada Sebuah Kapal, Elisa pada Keberangkatan, atau Fuyuko pada Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (Nurgiyantoro, 2007: 178-9). Berdasarkan penilaian atau pandangan pendapat pembaca maka semata-mata tokoh protagonis dan antagonis selalu dipertemukan dalam cerita (novel) sebagai bagian dari intrinsik novel.
c.Tokoh Sedernaha dan Tokoh Bulat
Berdasarkanm perwatakannya, tokoh cerita (novel) dapat dibedakan antara tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat ( complex atau round character). Pembedaan tersebut berasal dari Foster dalam bukunya yang berjudul Aspects of the Novel, yang terbit pertama kali tahun 1927. Pembedaan tokoh sederhana dan tokoh kompleks tersebut ( Foster, 1970: 75) yang akhirnya sangat populer. Setiap pembicaraan tokoh dalam novel penggolongan atau penyebutan tokoh tersebut selalu dipisahkan antara dua penggolong itu.
Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi (satu sifat atau satu watak) saja. Sebagai seorang tokoh tidak diungkapkan berbagai kemungkinan dari sisi kehidupannya. Ia tidak memiliki sifat dan tiongkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sehingga sifat kehidupannya bersifat datar atau monoton, maksudnya hanya mencerminkan satu sifat tertentu saja ( baik saja atau buruk saja). Watau yang tetap itulah merupoakan gambaran pasti dan tidak berubah-ubah dan terus menerus. Misalnya. "Ia seorang yang miskin, tetapi jujur", " Ia seorang yang kaya, tetapi kikir", atau Ia seorang senantiasa pasrah pada nasib".
Tokoh sederhana dapat melakukan berbagai tindakan, namun segala macam tindakan itu jika berubah maka akan kembali pada sifat asalnya, atau sebuah tindakan akan dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki di awalnya. Karena itu tokoh sederhana ini mudah dikenali dan dihafal oleh pembaca, karena itu sifat tokoh sederhana yang stereotip (Kenny, 1966: 28).
Unsur kestereotipan yang sering dijumpai dalam karya fiksi (novel), misalnya dalam buku "Siti Nurbaya" tokoh Samsul Bahri, Datuk Maringgih, tokoh Hanafi dan Corrie dalam buku "Salah Asuhan", dan juga tokoh Tuti, Maria dan Yusuf dalam buku "Layar Terkembang". Keberadaak tokoh tersebut cukup mudah dimengerti pembaca dalam berbagai aspek kehidupannya, hal tersebut karena cukup banyak diceritakan sehingga pembaca tidak cukup banyak kesempatan untuk mengembangkan sesuai dengan sisi kehidupan yang sesungguhnya.
Sementara Tokoh Kompleks atau tokoh Bulat, adalah tokoh yang memiliki berbagai karakter dan diungkapkan sangat berbeda dengan tokoh sederhana. Tokoh ini diungkapkan dengan berbagai kemungkinan kehidupannya, misalnya sisi kepribadian di samping sisi sosial lainnya yang sangat komplek dialami secara utuh dimana seorang tokoh adalah manusia ayang hidup di tengah masyarakat secara majemuk dalam segala hal. Karena itu perwatyakannya pun terlalu sulit dideskripsikan secara tepat. Didandingkan denganm tokoh sederhana maka tokoh kompleks atau tokoh bulat ini merupakan gambaran manusia secara sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia sering juga memberikan kejutan (Abrams, 1981: 20-21).
Tokoh komples ini untuk pembaca cukup sulit memahaminya, karena terasa kurang familiar yang ditampilkan adalah tokoh yang kurang akrap dana kurang dikenal sebelumnya. Tingkah laku tokoh misalnya, selalu muncul tak terduga dan memberikan efek kejutan pada pembaca. Karena itu untuk memahaminya harus benar-benar mengingat tampilan cerita sebelumnya agar dapat menemukan perubahan sifat atau tindakan yang berdampak pada kejutan yang dapat ditemukan dalam ajalan ceritanya. Hal tersebut umum terjadi dalam kehidupan nyata, selama tokoh cerita haruslah dapat dipertanggungjawabkan dari segi plausibilitas cerita sebab cerita novel yang tergolong karya fiksi ini memang mengandung alur ceriota (plot). Misalnya dalam novel Burung-burung Manyar karya YB. Mangunwidjaja di mana tokoh Teto yang mengalami perubahan sikap dari sikap sebelumnya, yaitu sikap cinta terhadap sikap orang Indonesia, berubah menjadi sikap memusuhi dan kemudian berubah lagi menjadi sikap mencintai dan bahkan mau membela kepentingannya dengan penuh tanggung jawab (Nurgiyantoro, 2007: 184).
Perbedaan antara tokoh sederhana denganm tokoh kompleks atau tokoh bulat tersebut hanya gamabaran secara teoritis, namun secara kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat kehidupan manusia sebagai tokoh sosial kehidupan. Artinya tokoh sederhana bukan sebagai lawan atau kebalikan dari tokoh kompleks. Perbedaan antara sederhana dengan kompleks itu hanya penggradasian, berdasarkan kompleksitas watak yang dimiliki p[ara tokoh novel sangat kompleks. Jadi ia lebih merupakan deskripsi tingkat intensitas kekompleksan perwatakan tokoh itu. Misalnya tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, merupakan tokoh sederhana ? Jika disejajarkan dengan tokoh Samsul Bahri dalam roman Siti Nurbaya, maka tokoh Hanafi jauh lebih kompleks dalam menghadapi permasalahannya, dengan tingkat perkembangan kejiwaan yang tidak terlalu sederhana. Namun tampaknya tokoh Hanafi masih tergolong sederhana jika dibandingkan dengan tokoh Tono (Sukartono) dalam Belenggu karya Arminj Pane.
Menampilkan tokoh kompleks atau tokoh bulat sebagai tokoh utama memerlukan kecakapan yang lebih dibandingkan dengan menampilkan tokoh sederhana sebagai tokoh utama. Karena tampilan tokoh sederhana sebagai tokoh utama cukup mengulang pola perwatakan tertentu saja, sehingga tidak menuntut daya kreativitas yang tinggi. Untuk tampilan tokoh sederhana sebagai tokoh utama perlu dibedakan ke dalam tokoh sederhana stereotip sebagai pengganti imajinasi dan tokoh sederhana yang diindividukan (Kenny, 1966: 33). Karena hal utama pada umumnya tampilan tokoh sederhana stereotip tampilannya itu-itu saja yang menggambarkan kurangnya kreativitas dan imaji pengarang. Tokoh yang demikian jika diangkat dalam cerita novel (fiksi) akan menghasilkan cerita yang rendah, namun juga belum tentu jika ditampilkan dalam tampilan tyokoh tambahan.
Sebaliknya tampilan tokoh yang kedua menyaran pada penampilan pada tokoh yang merupakan hasil kreativitas pengarang melalui imajinya yang murni. Tokoh yang dimaksud merupakan tokoh asli ciptaan pengarang hasil dari imajinya, misalnya tokoh Sri dalam Sri Sumarah dan Pariyem dalam Pengakuan Pariyem. Kedua tokoh tersebut memiliki sikap pasrah, sumarah, menerima nasib secara apa adanya, tak pernah berkonflik dalam jiwanya, dapat digolongkan dalam tokoh sederhana, walau tidak selalu tampil sederhana. Karena keduanya kurang mencerminkan realitaskehidupan manusia Jawa dewasa ini.
d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan tingkat berkembang atau tidaknya tokoh novel sebagai karya fiksi, maka keberadaan tokoh dibedakan menjadi dua keadaan, yaitu tokoh tak berkembang atau tokoh statis (static charakter) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan baik perwatakan maupun akibat adanaya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd & Lewis, 1966: 58). Tokoh statis adalah tokoh yang tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat perubahan lingkungan, dengan demikian dapat disimpulakan bahwa tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sikap dan watak relaltif tetap, tidak berkembang sejak awal hingga akhir cerita.
Dalam tokoh statis dikenal adanya tokoh hitam ( dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan tokoh putih
(dikonotasikan sebagai tokoh baik), artinya tokoh-tokoh tersebut dari awal kemunculannya selaltu tetap dan tidak mengalami perubahan watak tokohnya.Misalnya gambaran tindakan yang ditampilkan Siti Nurbaya dalam buku karya Marah Rusli itu menggambarkan gadis penurut (adat) dari awal tampilan hingga akhir atau gamabaran tokoh Datuk Maringgih yang terkesan jahat dalam segala hal (perbuatan dan tindakannya).
Sementara yang dimaksud dengan tokoh berkembang adalah kebalikan adari tokoh statis, maksudnya selalu mengalami perubahan baik dalam gambaran watak maupun tindakan yang membangun konfliks, misalnya perubahan yang dilakukan Tono terhadap Tini yang bermula ramah dan baik berbalik menjadi tak saling menyapa dan akhirnya berpisah dalam buku Belenggu karya Arminj Pane itu.
(Pengembangan Pembahasan dilanjutkan pada KBM berikutnya dalam SK. dan KD. yang sama)
Penugasan Untuk Kelas XII.
1. Bagaimanakah simpulan anda tentang penokohan dan sudut pandang pelaku yang diperbuat para penga
rang dalam karya novelnya, setelah anda membaca teori tentang pengkajian Penokohan dan Sudut
Pandang (point of view) itu ?
2. Bacalah sebuah novel Indonesia dan bagaimanakah menurutmu tentang;
a. Penokohannya ? ( Uraiakan sesuai teori yang disampaikan)
b. Sudut Pandang ( point of view) yang digunakan pengarang terhadap novel anda tersebut ?
c. Menurut anda tokoh Tuyet dalam buku novel karya Taufik Ismail tersebut tergolong tokoh
statis ( statis character) atau tokoh berkembang ( developing character )? Berikanlah alasannya !